Minggu, 26 Mei 2013

on
Bukanlah dinamakan pahlawan jika tidak meningglakan jejak. Terlepas apakah jejak tersebut mampu dikelola dan diolah atau tidak. Seperti halnya TKI dan TKW, menyandang status sebagai pejuang devisa keberadaan mereka cukup signifikan dalam membantu desa dalam sekup kecilnya. Walaupun proses keberangkatannya syarat hutang, akan tetapi besaran remittance yang dikirim cukup menjawab seberapa vital keberadaan mereka di komunitas/desa setempat. Mari kita berhitung secara sederhana mengenai potensi remittance di suatu desa, pada sesi ini saya akan mengambil sampel Desa Jenggik Utara. 

Berdasarkan hasil wawancara, rataan remittance sebesar 1500 RM per 3 bulan atau jika dirupiahkan sebesar Rp. 3.000.000 rupiah. Selanjutnya kita mulai berhitung jumlah TKI dan TKW desa jenggik utara sejumlah 463 jiwa pada tahun 2012. Jika dihitung secara sistematis potensi kiriman TKI maupun TKW per 3 bulan di desa Jenggik Utara sebesar Rp. 1.389.000.000 dan jika dikalkulasikan dalam setahun maka kiriman TKI/TKW di Desa Jenggik Utara sebesar Rp. 5.556.000.000. angka yang cukup fantastis bukan? Bandingkan dengan penghasilan salah satu perusahaan daerah seperti PD Pasar yang pertahunnya hanya menyentuh angka tidak lebih dari 2 Milyar dan itupun ditopang oleh APBD. Menariknya, walaupun angka yang dimunculkan cukup fantastis, kehidupan keluarga BMI relative stagnan dan belum cukup sejahtera. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya BMI daur ulang. Hanya sebagian saja yang beruntung karena mampu memanfaatkan hasil kerjanya ke usaha-usaha yang produktif.  Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak indicator keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk. (2005:15) menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat di representasikan dari tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah kebawah. Persoalannya adalah masih belum terepresentasikannya unsure-unsur kesejahteraan di atas. Lantas mengapa kondisi tersebut terjadi?
 
Paradigma masyarakat yang masih melihat uang sebagai santapan konsumtif dan taktis memang merupakan alas an mayor yang sering diapung dan menjadi alibi akan kondisi di atas terjadi. Remittance yang seyogyanya mampu dikonversi menjadi beberapa varian usaha dengan pendekatan bisnis/ usaha yang tepat aus oleh kegemaran keluarga BMI menghamburkan uang, entah dengan alas an Begawe/ pesta, membeli barang sekunder/ lux, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena motif awal para pejuang devisa yang hanya mengandalkan semangat keberangkatan dan kerja tanpa membekali diri dan keluarganya bagaimana tindak lanjut/ gerakan bermasa depan uang yang diperolehnya. Menilik fakta (Lihat Grafik), Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LSD Tunas Paice bersama ADBMI-TIFA, prosentase BMI terbesar untuk tingkat pendidikan di Desa Jenggik Utara yakni penduduk yang hanya menamatkan dirinya di Sekolah Dasar sebesar 38,9%. Bahkan sebanyak 8,64% BMI yang tidak tamat SD juga cukup berani mengambil peruntungan dan perjudian yang besar dengan berjihad ke luar negeri melalui rasio hutang hingga mencapai 8 juta rupiah (besaran biaya pemberangkatan (besaran total didapat dari katerangan salah satu PPTKIS). Terlihat sekali dari prosentase tersebut tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran warga dalam mengatur kebersinambungan uang/ remittance mereka.


Penguatan kapasitas bagi BMI dan keluarganya menjadi satu hal yang prioritas jika mengacu pada konteks di atas. Kapasitas yang dimaksudkan tidak hanya melalui jalur pendidikan yang formal, bisa juga melalui pendidikan-pendidikan alternative seperti penguatan kapasitas berbasis komunitas di suatu tempat. Saya masih mengingat salah satu diskusi pada acara musyawarah revitalisasi Desa Jenggik Utara untuk perapian LSD. Saat itu dengan lantang, Penanggung Jawab Program Roma Hidayat menegaskan bahwa problematika warga hanya bisa diselesaikan secara efektif dengan komunitas warga itu sendiri. “Itulah salah satu alas an kenapa musyawarah revitalisasi desa untuk lembaga social desa kita adakan”, tandasnya. Diharapkan dengan keberadaan LSD bisa memberikan penguatan kapasitas dengan pendekatan-pendekatan local yang cepat menyentuh pemahaman dan kesadaran warga. Lantas, apa kaitannya pemubazziran remittance dengan penguatan kapasitas LSD dan komunitasnya?


LSD yang komposisinya terdiri dari kader-kader komunitas setempat setelah mengalami peningkatan kapasitas di wilayah-wilayah pengelolaan remittance diharapkan mampu mentransformasikan pengetahuannya dan melakukan kerja bersama terhadap ide-ide yang cerdas mengenai pengelolaan remittance termasuk dengan memunculkan best practice di tingkatan desa. Harapan ke depannya best practice ini mampu menjadi inspirasi bagi semangat kewirausahaan warga. Karena tidak bisa dipungkiri success story salah saeorang warga cukup ampuh untuk menghipnotis kesadaran warga di suatu komunitas.

By : Habib

Popular Posts

ADBMI Lombok Timur. Diberdayakan oleh Blogger.