Senin, 07 Januari 2013

on
Roma Hidayat

Banyak yang menuding, imperalisme berkepanjangan suku bangsa lain telah membuat bangsa sasak sampai hari ini mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Sebenarnya, tidak sepenuhnya benar.  Kenyataan penjajahan yang begitu mudah dan lama bercokol itu sendiri menunjukkan bahwa bangsa Sasak memang telah mundur dan terbelakang dalam arti yang sebenarnya di banding kan dengan kaum/bangsa yang datang menjajah semenjak dulu, semenjak tonggak peradaban sasak ini  mulai di bangun pada era sasak purba (sasak Lebung).

Tidak ada yang salah dengan bali, jawa atau belanda pada era imperialisme fisik dan politik dulu.  Dan tidak juga salah orang  yahudi maupun amerika di era imperialisme ekonomi dan politik sekarang ini. Berhentilah mencari kambing hitam atas kenyataan pahit yang di hadapi, dan bangsa sasak harus mulai belajar untuk mengambil resiko dan tanggung jawab sendiri.  Dan jika kita mencermati sebuah buku laporan riset panjang Alfons  Van Der Kraan seorang warga australia yang di beri judul Sasak : Kemiskinan Dan Keterbelakangan ,  di mana buku ini sudah dio alih terjemahkan oleh Sahabat saya H. Doni Supanra seorang tokoh philantrhopi di Pulau Lombok/konseptor sekaligus pernah menjabat sebagai Manajer Program di BAZISDA (Lembaga Badan Amil Zakat, Infaq, Shodakoh) Lombok Timur sangat. Dalam buku itu  terang benderang menunjukkan  praktek-praktek budaya feodalisme patriarkhal menjadi biang keladi utama terhadap terpuruknya   peradaban etnis ini sampai detik ini, yaitu diantaranya KRISIS KEPEMIMPINAN. 


Sejarah kelam Suku Sasak lombok tak pelak lagi, di kelamkan oleh prilaku para pemimpinnya. Dan dalam pernyataan lain, bahwa sasak tidak memiliki  sejarah kepemimpinan yang mumpuni. Para pemimpin era Sasak purba dahulu justru berkonflik di antara sesama dan akhirnya lebih memilih untuk mengundang bangsa lain untuk datang membantu menyelesaikan konflik tersebut, meskipun dengan konsekuensi harus di jajah.

Jika saja, Sasak maju, tentu sejarah akan menulis hal yang berbeda, yaitu sasak menjadi bangsa penjajah yang menginvasi daerah lain. Namun kenyatan memang menunjukkan, bahwa bangsa yang terbelakang dan miskin seperti Sasak,  tidak memiliki hasrat ekspansionis. Jadi masalah utama sebelum dan setelah masa penjajahan fisik, kenapa bangsa Sasak  miskin dan terbelakang adalah karena masalah inheren bangsa  sasak sendiri, yaitu budayanya sendiri.  
Hampir seluruh tahapan penting sejarah sasak di warnai oleh konflik para pemimpin dan krisis kepemimpinan :
1.       Konflik Kedatuan Pejanggik-Selaparang-Arya Banjar Getas. Yang berujung pada di undangnya dan masuknya imperialisme Kerajaan Karang Asem Bali atas Lombok oleh salah satu pemimpin lombok sendiri. Dan pada akhirnya, Kedatuan Pejanggik sebagai sekutu karang asem setelah 14 tahun penaklukan Selaparang, di hancurkan juga oleh Karang asem sampai ke akar-akarnya. `
2.       Imperialisme Belanda masuk ke Pulau Lombok juga tidak lepas dari konflik elit. Di mulai dari konflik kerajaan yang menjadikan lombok sebagai halaman belakangnya/satelit , kerajaan hidnu gelgel Bali dan  Kerajaan Islam-Gowa. Dan puncaknya yaitu  antar Perwangsa lokal dan Penguasa Bali dari kerajaan Mataram karang asem di Lombok. Sebenarnya Belanda merasa tidak perlu untuk menempatkan pasukanya di Pulau Lombok. Namun, karena beberapa elit Lombok berkirim surat sedikitnya dua kali ke Gubernur Jendral belanda di Batavia untuk membantu mereka mengusir penjajahn bali. Dan fantastis, cukup dengan 150 orang sekelas Polisi, Belanda mampu menguasai Lombok dalam waktu yang lama.
3.       Perlawanan orang sasak terhadap imperialisme bali dan Belanda juga tidak pernah menghasilkan perlawanan yang signifikan karena model kepemimpinan perlawan tersebut yang lokalistik. Ego kedatiuan/Desa sangat mengemuka. Pemimpin lokal tidak  pernah bersatu, di sisi lain, ini menjadi ruang terbuka yang empuk bagi politik belah bambu dan adu domba belanda maupun bali.
4.       Setelah era otonomi pun demikian. Pada persitiwa pemilihan gubernur yang pada akhirnya memunculkan dan memenangkan Harun al rasyid dari etnis Mbojo-Bima sebagai gubernur NTB, tidak terlepas dari konflik elit Lombok yang berebut kuasa tanpa mengenal kompromi waktu itu.

Budaya Pemicu Krisis Kepemimpinan
Budaya yang di kembangkan oleh suku sasak bukan lahan yang subur untuk membiakkan dan mendidik kepemimpinan.  
1.       Penek onek kelemak / kencing tadi pagi. Ini adalah ungkapan yang sering di  pakai oleh mereka yang merasa lebih tua/di tuakan untuk meredam kritisme atau munculnya tunas muda pemimpin. Bahkan ungkapan ini tidak jarang di bentakkan oleh orang tua terhadap anaknya  yang  ingin mengutarakan pendapatnya
2.       Ngiring ; ikut jadi jamaah. Oleh sebagian kalangan, ungkapan ini di gambarkan sebagai personafikasi dari sifat rendah hati/humble dari orang sasak. Namun, di sisi lain, ungkapan ini juga memberi sinyal kepada kita, bahwa orang Sasak memang tidak siap menjadi pemimpin dan lebih senang menjadi pengikut. Dan celakannya, pengikut yang tidak kritis alias taklid buta (Ke surga ikut, Ke neraka turut yang muncul dari adanya tafsir bias ajaran sami’na wa atho’na kepatuhan tanpa kritisme) sehingga menjerumuskan pemimpinnya sendiri ke dalam jurang kegagalan.
3.       Penewok ; Keturunan. Leader are born or leader are made?. Diskursus kedua ini tidak berlaku di dalam budaya masyarakat Sasak. Meskipun era telah berganti dari era batu ke era serat optik. Masyarakat Sasak masih membiakkan sikap feodalisme dalam melihat seorang pemimpin. Jadi tidak heran jika Sebuah desa pimpin oleh satu keluarga tertentu dalam kurun waktu yang lama, karena menurut anggapan orang Sasak, pemimpin akan lahir dari rahim pemimpin juga (Penewok). Sehingga jika ada keturunan amaq icok atau inak serep , meskipun terbukti lebih cerdas  akan sulit muncul sebagai pemimpin orang banyak, tersebab, orang banyak ini menganut pandangan penewok tadi. Tentu saja, budaya ini menutup ruang bagi munculnya para pemimpin baru dari kalangan masyarakat awam atau kelas baru.
Budaya penewok ini juga melahirkan klas sosial di dalam masyarakat. Para pemimpin yang lahir dari budaya penewok ini biasanya datang dari kelompok menak/bangsawan atau agamawan/pekerja agama, yaitu orang yang bekerja dan berbisnis di sekitar issue agama.

4.       Jurakan ; saling support atau saling menjatuhkan ?. Ada doktrin tentang kepemimpinan yang sering di ajarkan dulu di bangku sekolahan ; Pemimpin yang baik itu adalah yang mampu melahirkan pemimpin –pemimpin baru/kaderisasi kepemimpinan. Tapi kecenderungan  umum yang kita lihat di Lombok, mungkin karena pengaruh rezim otoriter orde baru, bukannya menggandeng sang kader sebagai mitra, tapi cenderung memberangus kader-kader muda. Para pemimpin yang sedang berkuasa, memandang kader baru yang visioner sebagai kompetitor yang harus di tekan supaya tidak mengurangi kharisma/wibabwa pemimpin yang  sudah ada. Contoh kongkrit yang mungkin setiap waktu kita bisa Saksikan adalah pada kompetisi bisnis kepemimpinan agama. Agamawan Senior yang lebih dahulu eksis dan besar, alih-alih bergembira karena tugas dakwah menjadi ringan dengan munculnya pemimpin agamawan baru, tapi kebalikannya , memandang kemunculan pesantren baru dan agamawan baru sebagai ancaman bagi dominasinya ; akan mengurangi jumlah jamaahnya, mengurangi kewibawaannya, ,mengurangi santri di pondoknya dan pada ujungnya mengurangi income dari bisnis agama itu.

Dari konflik elit pemimpin agama ini lalu muncul stigma-stigma serta  istilah-istilah yang oleh para jamaah awam  hanya di beo saja, tanpa memahami maknanya seperti ; wahabi, salafi, bukan aswaja atau selain kita  semuanya sesat. Dan pada akhirnya , konflik kepentingan bisnis agama para agamawan itu berujung pada konflik fisik horizontal rakyat banyak. Kakak mengkafirkan adik dan halal darahnya untuk di bunuh.  Anak memutuskan tali silaturrahmi dengan ibunya, karena beda pemimpin agama tempat mengaji. 


Krisis kepemmpinan yang menghantui sepanjang lintasan sejarah Suku Sasak berada di daerah hilir sungai persoalan, yang kalau di telusuri ke arah hulu memiliki beberapa pemicu. Dinataranya adalah pola pengasuhan anak yang memungkinkan anak bangsa sasak berjiwa kurang bertanggung jawab dan tidak berani mengambil resiko.

Kemenangan Punya Banyak Ayah, Sementara Kekalahan/Kegagalan Kadang hanya punya satu ayah (Jose Mourinho, Pelatih Real Madrid)
Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Sasak, saya tentu suka terhadap orang yang rendah hati/humble dan tidak suka pada orang dengan sifat kebalikannya (arsitektur rumah orang sasak di samping tertutup tanpa jendela memiliki pintu yang lebih rendah dari tinggi rata-rata orang sasak, sehingga setiap orang yang mau masuk rumah harus membungkukkan badan adalah simbol dari kesederhanaan, kesabaran dan  kerendahan hati itu) . Contoh kasus, meskipun saya dan jose mourinho  pelatih  real madrid itu tidak saling kenal, namun dari sikap dan pemberitaan media, saya menjadi kurang suka padanya. Menyebut diri special one dan sikap-sikap arogannya tentu bagi orang sasak akan sangat menjengkelkan. Tapi ada hal yang mebuat saya respek sama dia, paska menelan teamnya menelan kekalahan dari  rival abadinya team Barcelona pada leg-1 Copa Del Ray, Mourinho dengan gagah berani memasang badan dan mengatakan bahwa dirinya yang paling bertanggung jawab dan paling patut di salahkan dalam pertarungan bertajuk el clasico itu ; Kemenangan Punya Banyak Ayah, Sementara Kekalahan/Kegagalan Kadang hanya punya satu ayah, sebutnya. Maksudnya Mourinho jelas, jika kita mendiskuiskan kemenangan maka banyakk orang yang akan mengaku-aku sebagai orang yang turut andil berjasa mewujudkan kemenangan itu(pada saat ini diksi yang paling laris adalah ;  waktu itu saya yang begini dan begitu makanya sukses, untung ada saya) , namun  tidak demikian  dengan   kekalahan, semua orang saling tuding, saling lempar tanggung jawab, semua cuci tangan (Seperti kasus Permak Ruang Rapat BANGGAR DPR) , semua menerapkan manajemen NIH Not In Here, bukan Salahku.
Budaya Silaq Ngiring adalah manifestasi doktrin bo’ lepang
Tidak bertanggung jawab , gemar mencari kambing hitam ini juga bagian dari budaya yang memundurkan. Setiap anak bangsa sasak di besarkan dengan budaya gemar mencari kambing hitam ini semenjaka bayi, ketika si bayi terjatuh dalam arti sebenarnya dalam proses ia belajar berjalan, yang di salah kan adalah kodok (Lepang, sasak) .  “sai sikm gerik anak ke, lepang no, bok lepang maeh” (siapa yang membuat kamu jatuh anakku, kodok itu ya, ibu/nenek/bibi pukul kodoknya) biasanya kata ini akan di ucapkan berulang-ulang sambil mengelus anak.
Bahwa lepang/kodok  yang entah ada di mana dan berbuat apa, di tuding sebagai fihak yang bertanggung ahwab dalam peristiwa jatuh bangunnya sang anak dalam proses belajar jalan. Dan begitu seterusnya, sehingga anak bangsa anak tumbuh sebagai personality yang tidak bertanggung jawab atas kinerjanya sendiri. Budaya Silaq Ngiring setelah dewasa adalah manifestasi dari budaya bo’lepang. Mungkin akan berbeda jika , lingkungan/orang tua melatiha anak untuk bertanggung jawab sejak kecil, misalnya pada kasus jatuh bangun proses jalan anak-anak tadi. Orang tua mengatakan untuk supaya anak lebih hati-hati, atau ayo terus berusaha anakku, jatuh adalah hal wajar dan paling penting adalah kamu terus belajar jalan. Tentu saja kepribadian anak sasak akan tumbuh berbeda dari kebanyakan yang sekarang ini.  

Suku-suku bangsa di seantero nusantara memiliki tradisi kebaharian yang kental dan terkenal. Lagu tempo dulu “Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera, menerjang ombak tiada takut.. “ menggambarkan itu, tapi saya ragukan, suku bangsa sasak tidak termasuk dalam gambaran lagu ini. Karena senyatanya, sampai hari ini,  garis pantai Lombok, gili-gili di tengah laut,  di huni dan dominasi oleh keturunan Suku bugis dan bajo yang sangat mashur akan jiwa petualangnya. Dan biasanya, peradaban besar selalau di ikuti oleh tradisi kebahariaan yang kuat. Dan sasak tidak memiliki itu... (bersambung)

Bagian 3 :
Budaya yang di kembangkan oleh bangsa Sasak pada akhirnya mereproduksi dan meregenerasi keterbelakangan dan kemiskinan bagi anak bangsanya sendiri. Budaya Patriarkhi yang mengasumsikan bahwa Tuhan telah menciptkan dunia ini untuk kepemimpinan para pria. Lebih sesat lagi, jauh di dalam benak orang-orang Sasak, menggambarkan bahwa Tuhan itu berjenis kelamin pria , sehingga lebih subyektif memihak pria.
Sasak akan segera maju , jika mampu melahirkan generasi yang mumpuni. Keunggulan Sumber Daya manusia menjadi hal mutlak dalam percaturan dunia yang makin kompleks dan kompetitip. Dan generasi handal tidak akan pernah muncul dari kancah sasak, jika masih mempertahankan budaya yang di milikinya sekarang ini. Silent Revolution, perubahan radikal secara senyap di bidang budaya, revolusi budaya adalah jalan keluar bagi  bangsa ini.  Budaya yang mana ?. cara membangun relasi dengan perempuannya ; cara pandang, cara menilai, memperlakukan dan menempatkan para perempuan mereka.

Surga di Kaki Ibu, Neraka di Tangan Ayah
Ibu atau Inak  dan ada yang menyebutnya Inen dalam konteks orang Sasak di gunakan tidak terbatas hanya pada menyebut status seorang perempuan dalam keluarga. Inen juga  di gunakan dengan cara di sematkan pada sesuatu yang di anggap penting, besar dan vital.
Edarkan pandangan ke sekitar anda. Lalu perhatikan baik-baik. Bagaimana kondisi kehidupan secara umum yang langsung bisa di tangkap oleh amta, Jika ada perempuan single yang sudah Tua/jompo dan pria single tua nan jompo ?. . Kesimpulannya pasti, bahwa perempuan tua jompo berada dalam kondisi yang relatip lebih baik di bandibg pria (dan jumlahnyaapun lebih banyak, artinya : usia harapan hidup dan tingkat kesehatan perempuan ternyata lebih baik di banding lawan jenis mereka). Tentu saja ini hal yang sangat menakjubkan, karena ini terjadi di dunia patriarkahl, di komunitas yang mendewakan para prianya. Patrarkhi  telah berubah menjadi racun bagi para penganutnya ?. Tidak percaya ? . Mari kita telisik lebih mendalam. Kita bernagkat dari kondisi perempuan dan pria jompo di atas. Kenapa Perempuan  lebih baik kehidupannya di banding si pria jompo ?.

Anak-anak setelah dewasa, akibta patriarkhgi bertumbuh kembang lebih dekat kepada ibunya. Sehingga , mejadi wajar kalau perhatian dan kasih sayangnya akan lebih besar, lebih atratktif dan demosntartip di tunjukkan kepada  ibunya ketimbang bapaknya.

Pria lebih rentan  terserang penyakit. Karena tingkat aktivitas fisiknya lebih rendah di banding perempuan. Mondar-madnir dapur-sumur dan semua aktivitas domestik yang kelihatannya  remeh temeh, ternyata memicu kesehatan kaum perempuan.
Beberapa pengalaman yang menegaskan betapa kehadiran ayah , terkadang membawa neraka di dalam rumah tangganya  bagi se isi rumah ; isteri dan anak.
Persisnya. Dalam sebuah perjalan ketika mahasiswa dulu, saya bertemu secara tak terduga dengan seorang pemuda Sasak yang tekah merantau lebih dari 19 tahun kala itu di Gerbang Pabrik Sawit milik PT Perkebunan Milik pemerintah di Daerah Sei Pagar Riau, Sumatera. Sebut saja namanya Sahri, ia bercerita alasannya untuk tidak pulang kampung adalah karena kenangan masa kecilnya yang penuh dengan pukulan dan cacian dari sang ayah. Kenangan itu ia bawa ke tanah rantaun dan berubah menjadi kebencian, untuk apa saya pulang. Bapak saya itu, lebih sayang kepada binatang  ternaknnya di banding kepada anaknya sendiri.
Dalam pemakaman seorang bapak. Anaknya malah merasa telah melepas beban, bahwa ia baru saja menguburkan macan, sehingga terbebaslah kini  ia dan ibunya dari teror sang ayah.

REVOLUSI BUDAYA di mulai dari memperbaiki cara berkomunikasi yang baik. Mentradisikan atau setidak melestarikan   kebiasaan masa berpacaran menjadi kebiasaan ketika menjalin hubunagn rumah tangga. Logika sehatnya , jika perkawinan adalah level yang lebih tinggi di banding status pacaran, mestinya jika naik level , maka kualitas relasi  dan komunikasi juga harusnya meningkat. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, jika masa pacaran , semua yang terucap adalah kata dan ekspressi wajah yang manis, “pacar terantuk batu, hati-hati sayang, apa ada yang luka, sini abang obati. Tapi setelah menikah kenapa semua berubah, isteri terantuk batu akan mendapatkan respon suaminya ; embe laikm bekek batun matem, adekm pelot te (bola matamu itu kamu tidak pakai, rasakan , modar kamu)


itu sendiri datang  bangsa Budaya  sasak adalah sumber keterbelakangan dan kemiskinan. Suku sasak tidak bisa di bilang suku minoritas. Bahkan untuk  di Propoinis NTB, Sasak adalah mayoritas. Etnis Sasak saat ini di perkirakan berjumlah tiga  juta jiwa di seluruh dunia.  Namun  meskipun demikian, nama suku sasak atau keberadaan suku ini  dalam kancah nasional apalagi internasioanl tidak pernah terdengar. Kalupun terdengar “prestasinya” adalah pelaku kawin cerai tertinggi nasional, angka buta hurup tinggi, jumlah TKI yang tinggi (secara prosentase lebih tinggi di banding etnis manapun di indonesia). Beberapa praktek budaya sasak yang memicu keterbelakangan dan kemiskinan Warga sasak itu  diantaranya :
1.       Melai’an /negok/kawin lari
2.       Sistem bagi waris yang sangat tidak fair
3.       Cara memandang dan memperlakukan perempuan, baik ia  dalam keduduykan sebagai isteri ataupun anak .



Silaq Ngiring Dan Krisis Leadership  ;
Krisis kepemimpinan menjadi salah satu karakteristik khas bangsa sasak. Ini bisa di lihat pada momentum pilkada . Sejarahnyapun mencatat, tidak ada mekanisme kaderisasi dan pendidikan kepemimpinan . Ketika bangsa lain berlari menyongsong  semua peluang dan tantangan globalisasi, bangsa ini hanya beringsut dengan enggan, bahkan cenderung  untuk mempertahnakna status quo yang di miliki. Ini terlihat  jelas pada krisis kepemimpinan yang menghantui bangsa ini. Tidak pernah memiliki stock pemimpin yang modern dan visioner, bahkan di era milenium digital dan serat  optik ini, pemimpin yang selalu muncul ke permukaan adalah para pemimpin tradisional. Ini tidak lepas dari karkateristik pemilihnya yang memang tradisional juga. Pemimpin itu biasanya berasal dari keturunan pemimpin sebelumnya, yaitu kala tidak  dari kelompok bangsawan (menak) maka kelompok agamawan . dan akan sangat afdhol jika pada satu sosok mencerminkan kebangsawanan juga agamais.
Para pemilih tradisional yang berkencenderungan seperti masyarakat se era firaun. Di mana pemimpin dapat mengkalim diri sebagai tuhan, atau orang yang di pilih tuhan, putra tuhan yang biasanya pemerintahnnya bercirikan otoritarianisme. Karena semua kebijakan  yang lahir di anggap sebagai hukum tuhan.

Pemimpin tardisional juga tidak enggan menciptakan mitos yang dapat meneguhkan citra dan kepatuhan para pengikutnya.

Situasi ini menutup ruang bagi munculnya pemimpin dari kalangan baru yang bisa jadi lebih visioner yang dapat  memimpin bangsa ini melakukan revolusi budaya.

AYAM  Jantan   dan pria sasak.
Untuk memahami Bagaimana potret Pria Sasak  dalam relasinya dengan perempuan cukup dengan melihat bagaimana Ayam Jantan berprilaku  terhadap ayam betina. Persis, hampir tidak ada beda.
Sok punya. Untuk menarik perhatian /merayu ayam betina., ayama jantan secara atraktif akan berkokok keras sambil mematuk-matuk  kerikil atau batu, mengais-nagis tanah, pasir , kerikil dengan kakinya seoalh-olah mengesankan bahwa ia tengah memiliki banyak makanan/harta yang akan ia bagikan ke betina.
Jika ada betina yang di incar, maka si jantan berlaku seoalh-olah ialah penguasa dan paling kuat di dunia. Berkokok keras setelah sayap mengepak menggebuk dada. Begitu ada ayam jantan lain yang lebih kuat datang, ia tetap pura –pura berani meskipun sambil lari, namun ia gengsi menunjukkan kalau ia takut dan kalah dari si pesaing, tetap saja berkokok meskipun sedang terbirit-birit di kejar sang kompetitornya.
Ketika syahwat sudah tak terbendung. Tak peduli apapun kondisi sekitar. Ke pucuk pohon betiba berlari, sang jantan akan tetap mengikuti. Betina menghindar Masuk ke lorong got,  berlari di antara ujung paku yang tertanam di sepanjang tembok keliling rumah, si ayam jantan sanggup melakukannya.

Siklus Lestari Pewarisan Keterbelakangan dan Kemiskinan
Tidak ada sesiapapun yang merasa bisa dan pernah menentukan dalam  jenis kelamin apa ia mau di  lahirkan. Tuhan juga tidak membuka pintu negosiasi untuk memungkinkan hal itu terjadi.
Adalah mimpi di siang hari mengharapakn telur yang besar dan sehat atau buah yng sehat dari induk aau pohon yang tidak  sehat.

Sebagian besar penduduk Gumi Sasak adalah pemeluk agama Islam, sisanya penganut agama Hindu, Budha dan sebagian kecil beragama Kristen. Kehidupan antar umat beragama berjalan rukun dan damai. Kegairahan umat Islam dalam menjalankan kehidupan beragama terlihat dalam membangun tempat peribadatan, sehingga hampir di seluruh tempat di pulau Lombok terdapat masjid. Itulah sebabnya pulau Lombok dikenal juga sebagai Pulau Seribu Masjid. Sebelum penyebaran agama Islam datang ke pulau Lombok, masyarakat Lombok percaya akan adanya roh-roh nenek moyang, kepercayaan ini disebut animisme. Selain itu, masyarakat juga percaya bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib, kepercayaan ini disebut dinamisme. Agama Islam berkembang dengan cepat di Gumi Sasak karena menggunakan pendekatan tasawuf dalam penyebarannya. Ajaran Islam tasawuf menjadi suatu ketertarikan utama bagi masyarakat suku Sasak karena pada umumnya ajaran ini mengajarkan dimensi mendalam dalam pemahaman ketuhanan dan keagamaan. Ajaran Tasawuf ini pulalah yang kemudian menjadi acuan umum dalam membentuk sikap dan tindakan (perilaku) masyarakat Sasak. Di sisi lain pemahaman yang belum mendalam dan adanya pengaruh Hindu memunculkan Islam Wetu Telu. IslamWetu Telu merupakan sinkretisme (gabungan) dari ajaran Islam dan Hindu. Di dalam babad dan lontar, disebutkan beberapa kerajaan yang pernah ada di pulau Lombok. Diantaranya adalah: kerajaan Desa Lae', Suwung, Pamatan, Selaparang, Lombok, Mumbul, Pemokong, Bayan, Sokong, Langko, Penjanggik, Parwa, Kedaro,Karangasem Lombok (Singasari) dan Mataram. Beberapa kerajaan lainnya meliputi desa-desa (wilayah) kecil yang disebut Kedatuan, misalnya Pujut, Batu Dendeng, Kuripan. Di masa lalu, kehidupan masyarakat suku Sasak berada di bawah tekanan kaum penjajah (kerajan Bali, Belanda dan Jepang) dalam waktu yang cukup lama.
Dalam kehidupan masyarakat Sasak Zaman dahulu, nenek moyang bangse sasak menerima berbagai pengaruh baik yang berasal dari pengaruh agama Budha maupun pengaruh dari agama Hindu sehingga terdapat stratifikasi system social (system kasta) masyarakat yang dikenal dalam bangse sasak menak dan non menak.
Makna kata CASTE ada tiga yaitu:
1. social status or position conferred by a system based on class.
2. (Hinduism) a hereditary social class among Hindus; stratified according to ritual purity.
3. a social class separated from others by distinctions of hereditary rank or profession or wealth.
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job.

Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan. (Caste is derived from a Portuguese word ‘caste which means breed, race or class. The Portuguese's used this word first to identify small social groups in Hindu Society. In India the word ‘caste’ corresponds with ‘jat’ or Jati’ which means ‘Birth”)
Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan tatanan itu sebagai casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.
Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.
Lama kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:
1. Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land lord
2. Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
3. Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang diantara umat manusia
Walaupun demikian casta tidak hilang sama sekali; ia berubah wujud sebagai “Class System” yang didefinisikan sebagai: A differentiation among men according to such categories as wealth, position, and power.
Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh masyarakat; yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production. Inilah embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat, di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan income yang wajar diantara rakyatnya.
Peredaran zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti pemikiran Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class Mobility, yaitu pengelompokan sosial karena kepentingan profesi.
Kini kita biasa mendengar di Indonesia kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, profesi, dan rohaniawan; mereka kemudian mengikat diri lebih khusus kedalam organisasi-organisasi seperti: KADIN, IDI, ICMI, MUI, dll.
India yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya mempunyai sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain misalnya penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan Marthomite Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan Theravadi.
Istilah pertama yang digunakan di India bukan kasta tetapi “varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya warna (colour); ditemukan dalam Rig Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan). Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena kelahirannya diupacarai dengan prosesi pensucian.
Hal ini juga teraktulisasi di Lombok dalam bentuk warna Menak dan non Menak dalam bentuk stratifikasi sosial. Kesimpulannya adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia. Warna seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang petani (berwarna non menak) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya kemudian hari menjadi Gubernur, Bupati, Walikota maka anaknya sudah menjadi warna Menak; demikian sebaliknya seorang keturunan Menak yang tidak lagi berprofesi sebagai penguasa tidak dapat disebut sebagai warna Menak.
Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu Kantor yang merangkap menjadi Pemangku Adat; ketika bertugas sebagai pesuruh dia berwarna Non Menak, tetapi jika bertugas nganteb di acara sorong serah aji krame atau acara adapt lainnya dia berwarna Menak.
Ketika Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan semua Kerajaan di Nusantara abad ke-13. Para satria Majapahit membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan atau kedatuan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk yang yang dijajah (dikuasai), dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Demikian pula penguasaan Kerajaan Karang Asam Lombok yang menjadi penguasa di Lombok lebih dari 150 tahun ikut memberikan andil dalam pewarnaan Menak dan Non Menak di Lombok.
Sejak masa itulah “Warna” di Lombok berubah menjadi “Perwangsa” (Bangsawan - Menak) atau “Kasta” karena hak-hak kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya. Setelah kerajaan-kerajaan di Lombok runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.
Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang apa Menak atau Non Menak. Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu. Mereka yang bijaksana akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi diri sendiri. Semoga, Wallahualam

Popular Posts

ADBMI Lombok Timur. Diberdayakan oleh Blogger.