Senin, 07 Januari 2013

on
...Betul yang mulia, Dia memang setiap 3 bulan sekali rutin mengirimkan cek pada saya, tapi coknya tidak bisa di penuhi oleh suami saya Pak Hakim. Berembe entan tek taker umbak (bagaiamana caranya menahan ombak laut)  Demikian penggalan  jawaban  sebut saja Salminah (29 Tahun) menjawab pertanyaan Majelis Hakim dalam sebuah sidang yang menyidangkan gugatan cerai atas suaminya  di Pengadilan Agama Selong.  
 
Ungkapan ada cek dan cok  ini telah meluas sampai ke pelosok kampung di Lombok, bahkan kini disalah gunakan sebagai justifikasi, pembenar atas adanya perceraian dalam kalangan keluarga BMI.  Bahkan tak jarang, para pria juga memakai dalih ini untuk merayu istri orang lain untuk berselingkuh.   Dan menariknya, jawaban Salminah diatas juga keluar dari mulut  418 orang Perempuan yang melakukan gugatan cerai  di pengadilan ini kelas 1-B selong, Lombok Timur sepanjang tahun 2009 lalu (bagi yang doyan statistic  akan  dapat langsung membaca, bahwa setiap hari  sedikitnya satu rumah tangga bercerai). Dan pada tahun 2011, ada 1.115 Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Selong .  Alasan serupa juga di ungkapkan oleh  Jumahir (36 Tahun),  seorang pria yang akhirnya di gugat cerai oleh Istrinya karena kedapatan selingkuh dan telah kawin lagi sewaktu Istrinya bekerja ke Saudi selama 2  tahun. Jumahir, menghabiskan hampir seluruh uang kiriman hasil jerih payah keringat istrinya untuk pacaran dan kawin lagi. Sehingga, begitu pulang, istrinya tidak mendapatkan apa-apa selain kenyataan, bahwa suaminya telah kawin.
 Istilah cek di kenal luas oleh Masyarakat Lombok,  sebelum sistem transfer uang lewat rekening dan money gram seperti Western Union di kenal, Para Buruh Migran asal Lombok lebih banyak memanfaatkan wesel dan cek untuk mengirim uang ke keluarganya di tanah air, karena di nilai lebih cepat dan gampang mengambilnya. Dan Istilah cok untuk kebutuhan biologis, di maksudkan untuk menghaluskan nama Kelamin Pria. 
Pilihan  untuk menjadi BMI memang pilihan untuk makan Simalakama. Jika tidak menjadi BMI, maka keluarga rentan mengalamai disharmonisasi karena alasan ekonomi (cek , salah satu dari nafjah zahir dalam konteks Komunitas Sasak) yang sulit di kampung halaman sendiri , tapi jika pun salah satu , suami atau  istri menjadi BMI, maka keluarga juga tetap terancam disharominasi bahkan perceraian karena alasan biologis tadi (cok atau nafkah batin).  The Power of cok, merupakan aspek yang tidak terfikir sebelumnya,  menunjukkan kemujarabannya sebagai kekuatan yang menjadi kohesi kuat dalam mengikat sebuah rumah Tangga.
           Alternatip yang diambil oleh Masyarakat Propinsi NTB, khususnya pulau Lombok untuk keluar dari jerat kemiskinan adalah menjadi Buruh Migrant BM yang terpaksa forced migration yang lebih dikenal luas dengan sebutan TKI/W ke sekitar 17 Negara tujuan di seluruh dunia. Dari prosentase, Propinsi NTB adalah Pengirim Buruh Migran terbesar Pertama. Terdiri atas 7 Kota kabupaten dan 2 kota Madya. Lombok Timur merupakan kabupaten pengirim terbesar, dengan perkiraan kasar 33 ribu Orang per tahun (Disnaker NTB) dan terpadat penduduknya (1,1 Juta jiwa dari total 4 juta Penduduk NTB, BPS 2004). Faktor pendorongnya adalah, satu,Meluasnya kemiskinan sebagai dampak krisis moneter di Indonesia mulai 1996, 40 % dari keluarga yang ada, diklasifikasikan sebagai keluarga Miskin (BPS, 2006). Dua, sektor pertanian sebagai mata Pencaharian utama masyarakat tidak bisa lagi mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kepemilikan lahan pada tahun 1963 rata-rata 0,5 Hektar Per KK, dan menurun menjadi 0,25 hektar pada tahun 1973 (BPS, 2006).

Ada Cek tapi tak ada cok ini, menggambarkan, peliknya persoalan yang dihadapi oleh para Migran khususnya yang telah berkeluarga. Menjadi Buruh Migrant, mungkin mampu menyelesaikan persoalan ekonomi dalam keluarga BMI (Meskipun aspek ini juga perlu di kaji lagi), tanpa mengenyampingkan dampak ikutan positip lain, seperti   melek teknologi informatika, mengenal dunia perbankan dan sebagainya , namun tanpa di sadari melahirkan ekses negatip lain yang terus mengendap dan suatu saat akan menjadi bom sosial yang maha dahsyat. Ekses sosiologis, kesehatan, budaya dan termasuk semakin meningkatnya jumlah perceraian dalam keluarga BMI.  Dengan panjang kontrak kerja di luar negeri rata-rata dua tahun, mampu memaksa para BM untuk bersikap kreatif mengatasi kejenuhan, kesepian, tekanan mental dan kebutuhan biologis. Namun celakanya, ada beberapa majikan , terutama majikan mereka yang bekerja di sektor perkebunan di tempat yang terpencil, yang mengeksploitasi situasi ini. Para majikan sengaja mendatangkan para pekerja komersil seks di waktu gajian untuk melayani sekitar 40-60 orang Pekerja perkebunan, tanpa pelayanan pemeriksaan kesehatan terhadap mereka.  Ujungnya, para pekerja yang rata-rata pria menikah ini akan menjadi carier penyakit (membawa oleh-oleh berupa masalah kesehatan)  ketika pulang kelak ke keluarga mereka di tanah air.
Meskipun kita tidak hendak menutup mata, bahwa akselerasi pembangunan sebagai kontribusi langsung dan tak langsung para Buruh Migrant yang 74 % hanya tamat sekolah Dasar ini tak bisa dinilai dengan jumlah Uang yang mereka kirim saja (remittance). Tata Pemukiman pelosok kampong menjadi relative lebih memenuhi estetika dan kesehatan (catatan, ini standar “kota”). Kemudian Inaq-Inaq  (ibu-ibu, sasak) buta huruf nun di pelosok kampong yang tak tersentuh “gaul kota” menjadi melek teknologi komunikasi, mahir menggunakan telepon genggam HP sambil mengunyah sirih, mengenal dunia per Bank kan, memanfaatkan jasa western union, mafhum soal kurs/nilai tukar mata uang, yang jika saja alamiah berjalannya, tanpa “keterpaksaan” dari proses buruh Migrant ini, maka bisa jadi kondisi seperti sekarang ini baru bisa kita lihat 15 tahun di masa yang akan datang. Tak terkecuali Pendidikan dan kesehatan pun terbantukan ratingnya, pencapaian target wajar Sembilan tahun juga terkatrol dengan hasil keringat para Buruh Migrant. Jika ingin bukti sedikit  analitik akademis, tengoklah data di Bank, puncak grafik tertinggi periode pengiriman remittance ke dalam negeri, terjadi menjelang tahun ajaran baru.  
Namun demikian. Bahkan ketika uang atau cek  atau remittance ini di dapatpun, masih berpotensi mendatangkan masalah. Ini adalah racun yang disangka madu. Jika diurai, secara kimiawi, Remitance mengandung unsur madu dan racun dengan jumlah rangkaian molekul yang sama dan dapat bereaksi bersama dalam waktu yang sama.  Perceraian, perselingkuhan, konflik ibu dan anak, menantu dan mertua, suami dan istri banyak dipicu oleh  senyawa remitance ini. Kasus Perceraian pada rumah tangga BMI sebagian besarnya, 97% terpicu oleh Zat bernama Remitance ini. Kepada siapa remittance harus di kirimkan, siapa yang memegang kuasa penggunaannya, adalah hal-hal yang sangat rumit, karena pada yang demikian itu melekat nilai-nilai sosiologis yang melibatkan keluarga besar (pihak suamu atau istri) dan bahkan masyarakat Desa . Dari proses ini, seorang anak di ukur tingkat kebaktiannya  kepada orang tuanya, di nilai tingkat pengabdiannya kepada mertua, dinilai apakah seorang suami sayang pada istri atau tidak.
Fenomen lain yang menarik di kaji adalah. Semakin menanjaknya jumlah BMI Buruh Migrant Perempuan sejak guncangan pertama krisis moneter di Indonesia 1996 dapat juga dibaca sebagai kritik atas kegagalan kaum pria umumny Indonesia, khususnya di Lombok   dalam membangun perekonomian baik makro maupun mikro (level rumah tangga). Dan kenyataan menunjukkan bahwa dari segi prosentase antara jumlah BMI dan jumlah remitance  (meskipun saya sendiri tidak pernah setuju mengukur keberhasilan Penempatan BMI dari sisi ini) yang dikirim, rata-rata menunjukkan bahwa negara-negara yang dominan di menyerap BMP Indonesia seperti negara-negara kawasan Timur tengah dan Hongkong  lebih tinggi. Namun ini juga masih harus diberikan catatan, bahwa hampir 80% BMP yang dikirim bekerja di sektor domestic dan angka kasus pelanggarannyapun lebih tinggi perempuan di banding korban pria (khususnya di Negara-negara Timur Tengah).
(bersambung)

Roma Hidayat

Popular Posts

ADBMI Lombok Timur. Diberdayakan oleh Blogger.