Hal-Hal Baru
Polisi bicara tentang bagaimana memberantas kejahatan, adalah hal yang biasa. Namun, bagaimana halnya jika Penjahat yang bicara tentang bagaimana memberantas kejahatan , membumihanguskan perbuatan mereka sendiri ???. Ini Baru hal yang baru.
Anjuran Berubah tidak untuk orang lain, tapi diri sendiri dulu :
Siapa lagi yang menguasai masalah, medan dan cara untuk mengatasi masalah kejahatan ini, kalau bukan mereka , penjahat itu sendiri, mereka kenal betul ubin demi ubin, bahkan cara berjinjit ketika sedang melakukan aksinya pun mereka mafhum betul ???. Logika ini mengantarkan kepada sebuah ide, yaitu mengajak para "Penjahat" ketidak setaraan gender , dalam hal ini kaum laki-laki untuk tidak hanya membahas caranya memberantas kejahatan gender tapi langsung turun tangan, menjadi yang terdepan untuk mengatasi kejahatan yang kerap di tuding merupakan dominasi perbuatan gank berjakun, kelompok Adam.
Penjahat ini akan di dorong menjadi laki-laki baru, yaitu laki-laki yang menggunakan bahasa dan sensitip feminisme dalam kesehariannya. Laki-laki yang punya nyali untuk melakukan terobosan, menyeimbangkan dunia (dari dominasi aturan dan dunia pria) dengan bahasa dan sosok baru. Laki-laki yang mempromosikan nilai kemanusiaan, bahwa terlepas dari beda jenis kelamin, semua manusia punya kewenangan dan posisi yang sama. Laki-laki yang mau berbagi tanggungjawab dan bekerjasama membangun dunia dengan matahari yang sama. Laki-laki baru dengan bahasa dan pendekatan yang baru. Strategi yang di gunakan mesti juga di update berbasis pada bacaan hasil evaluasi strategi lama . Yaitu Tidak lagi memperhadapkan vis a vis, tapi mengedepankan insentive approach , yaitu orang di ajak untuk merasakan lezatnya bersetara gender dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga dengan memulai dari diri sendiri.
Cara yang di lakukanpun “baru”. Jika selama ini Pendekatan mainstreaming gender lebih banyak dengan pendekatan konsep dan "pemaksaan " melalui ancaman dan tindakan lain berbasis hokum positip yang berlaku bagi para pelanggar (advokasinya rata-rata bertujuan melahirkan regulasi-regulasi). Menuju pendekatan manfaat dan kerugian (insentive approach), dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menemukan dan membuktikan sendiri nikmatnya memprakekkan kesetaraan gender. Dapat juga dikatakan, mainstreaming gender dengan Pendekatan konsep menempatkan aktivis , donor, pemerintah dan pihak outsider selain komunitas menjadi pemuka gerakan dan masyarakat sebagai objek/target group kelompok yang akan di cerahkan. Sementara dengan pendekatan baru ini, masyarakat sendiri yang menjadi actor utamanya. Dalam pendekatan yang baru ini, masyarakat secara langsung di arahkan untuk membuktikan sendiri dalam kehidupan yang nyata di lingkungan mereka, bagaimana perbedaan hidup mereka yang telah setara gender dan yang tidak. Masyarakat di minta untuk menemukan model ala komuntas sendiri, menemukan para pelaku best practisess dalam pengelolaan rumah tangga keluarga migrant yang ada di sekitar mereka. Mendorong perubahan tidak dengan menganjurkan orang lain untuk berubah terlebih dahulu, tapi memulai dari diri sendiri sebagai pionir dan contoh bagi yang lainnya.
Muasal Ide
Ide memanfaatkan "penjahat" sebagai actor perubahan adalah untuk melengkapi mainstreaming gender yang telah ada. Karena Secara nasional, gerakan Gender dan Hak Azasi Perempuan di Indonesia di dominasi oleh kaum Perempuan dengan strategi "perempuan bangkit melawan ketidak adilan dan diskriminasi", sehingga timbul bias persepsi dan sikap resistansi dari beberapa kalangan khususnya komunitas pedesaan Lombok. Lebih Khususnya di desa terpencil, oleh karena hal diatas, muncul persepsi ; gender mainstreaming itu gerakan perempuan melawan laki-laki, gender itu isu milik perempuan, isu produk barat yang ingin merusak perempuan, merusak struktur budaya dan agama setempat
Dus. Di samping soal di atas. Dalam issue Buruh Migran Indonesia, kerja-kerja advokasi yang di lakukan terasa belum cukup significant dan strategis dalam mengeleminir praktek bias gender yang ada. Karena memang dalam konteks ini, kesetaraan gender belum banyak di bicarakan, mungkin disebabkan oleh begitu luasnya lautan masalah, silang sengkarut benang kusut persoalan yang melingkupinya, sehingga masalah yang penting ini menjadi sedikit terabaikan.
Lihat saja, UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN yang merupakan tonggak pokok aturan tentang Buruh Migran masih mengidap fikiran kelaki-lakian, terdapat banyak aturannya yang menyudutkan perempuan, baik sebagai pekerja langsung maupun sebagai anggota keluarga BMI sendiri. Belum lagi persepsi umum di masyarakat yang masih memperdebatkan boleh tidaknya perempuan menjadi TKW ( kalau si Perempuan itu janda, punya anak, sementara karena budaya patriarchi yang ada pada masyarkat sasak, Perempuan tadi tidak dapat warisan, tidak pula dapat tunjangan dari suami yang tidak bertanggung jawab, lalu jika di tambah lagi dengan tidak boleh bekerja di luar, bagaimana hidupnya akan berlangsung ???)
Lomba Menambah Tanggung Jawab dan Saling Kontrol antar Komunitas
Pendekatan kompetesi berdampak pada :
Perempuan Sasak dan Migrasi ?
..”Dulu dan masih ada tersisa sekarang, di beberapa desa, seperti Desa Pengadangan, setiap anak laki-laki yang hendak pergi keluar Merantau melakukan tradisi merangkak di antara kaki Ibunya sebagai bentuk penghormatan dan minta restu …”
Semakin menanjaknya jumlah BMI Buruh Migrant Perempuan sejak guncangan pertama krisis moneter di Indonesia 1996 dapat juga dibaca sebagai kritik atas kegagalan kaum pria umumnya Indonesia, khususnya di Lombok dalam membangun perekonomian baik makro maupun mikro (level rumah tangga). Dan kenyataan menunjukkan bahwa dari segi prosentase antara jumlah BMI dan jumlah remitance (meskipun saya sendiri tidak pernah setuju mengukur keberhasilan Penempatan BMI dari sisi ini) yang dikirim, rata-rata menunjukkan bahwa negara-negara yang dominan di menyerap BMP Indonesia seperti negara-negara kawasan Timur tengah dan Hongkong lebih tinggi. Namun ini juga masih harus diberikan catatan, bahwa hampir 80% BMP yang dikirim bekerja di sektor domestic dan angka kasus pelanggarannyapun lebih tinggi perempuan di banding korban pria (khususnya di Negara-negara Timur Tengah).
Perempuan bermigrasi meskipun dapat di baca sebagai kritik dan emansipasi perempuan sasak untuk melepaskan diri dari belenggu patriarkhi yang telah menempatkannya ke dalam domestikasi , namun di sisi lain juga melahirkan eksploitasi baru terhadap mereka. Bahkan secara factual, menjadi BMP (Buruh Migran Perempuan) sejujurnya adalah beban ganda (double burden) , menjadi pencari nafkah. Belum ada lompatan sector, karena yang terjadi pada mereka adalah Pindah Tempat kerja. Keluar dari kungkungan rumah di kampong halaman dan pekerjaan-pekerjaannya menuju ke rumah baru di tempat baru di dengan pekerjaan yang sama, yaitu rumah majikannya namun kali ini dengan potensi resiko yang lebih besar. Migrasi sector Domestik.
Populasi perempuan 54 % dan pria 46 % di Lombok Timur, proporsi ini juga tergambar dalam pemilihan legislatif dan presiden 2009 ini, bahwa pemilih perempuan lebih banyak di banding laki-laki. Gedubraaak, dalam konteks Lombok, perempuan adalah potret inkonsitensi komunitas, dimana filoshopi dan praktek sosiologisnya tidak sejalan.
Kenapa laki-laki baru diperlukan dalam issue Migrasi ???. Dari pengalaman dan bacaaan ADBMI, ketimpangan gender merupakan satu masalah besar yang mempengaruhi tidak optimalnya pengelolaan remittance., tingginya perceraian, banyaknya kawin siri dan yang paling penting adalah mengorbankan harkat dan bahkan jiwa manusia bernama Perempuan.
Komunitas menemukan dan menentukan best practisess di lingkungan mereka.
Strateginnya juga baru. Kalau selama ini pendekatan mainstreaming gender lebih banyak dengan pendekatan konsep dan “pemaksaan “ melalui ancaman dan bahkan tindakan hokum positip yang berlaku bagi para pelanggar (advokasinya rata-rata bertujuan melahirkan regulasi-regulasi). Menuju pendekatan manfaat dan kerugian (insentive approach), dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menemukan dan membuktikan sendiri nikmatnya memprakekkan kesetaraan gender.
Dapat juga dikatakan, mainstreaming gender dengan Pendekatan konsep menempatkan aktivis , donor, pemerintah dan pihak outsider selain komunitas menajdi pemuka gerakan dan masyarakat sebagai objek/target group kelompok yang akan di cerahkan. Sementara dengan pendekatan baru ini, masyarakat sendiri yang menjadi actor utamanya. Dalam pendekatan yang baru ini, masyarakat secara langsung di arahkan untuk membuktikan sendiri dalam kehidupan yang nyata di lingkungan mereka, bagaimana perbedaan hidup mereka yang telah setara gender dan yang tidak. Masyarakat di minta untuk menemukan model ala komunitas sendiri , menemukan dan menentukan best practisess di lingkungan mereka.
Hasilnya adalah Matahari Kembar Laki-Laki Baru Dari Desa Pengadangan. Selamat untuk para model ala komunitas terpilih. Laki-laki baru harapan. Orang desa setempat yang potensial untuk diandalkan sebagai perubahan di kampungnya yang punya sejarah dan piloshopi pro laki-laki , Desa pengadangan. Team juri independen yang terdiri dari 4 orang (dua wakil pemerintah dan 2 wakil NGO ) mengakhiri kebingungannya dengan menetapkan dua orang sebagai jauar satu.
Dua orang model ini telah memberitahukan dan mengajarkan pada kita semua , bahwa sungguh, meskipun mereka tidak pernah mendengar, membaca dan belajar gender. Mereka telah mempraktekkannya . Dan mereka meraih cita-cita hidup yang di impikan banyak orang, yaitu bahagia, damai dan sejahtera.
Bahagia, tidak ada yang tertindas. Semua bebas merdeka. Suami, istri dan anak bebas mementukan pilihan yang selalu saja di hormat pihak lain. Tidak tertekan maupun terancam. Damai, konflik yang wajib ada dan dihadapi semua keluarga, tidak pernah berakhir rusuh. Tidak berujung pada luka, cidera lalu masuk rumah sakit akiat tindak kekerasan dari salah satu fihak.
Sejahtera, Lahir batin. Ya boleh tidak percaya pada dua hal di atas. Tapi dua orang model laki-laki baru terpilih kita ini, dengan telanjang bulat menmbuktikan pada orang sekitar kampungnya, pada team juri independen, bahwa dengan kesetaraan gender, keluaraga menjadi kaya. Semua potensi bersiergi, bekerja dalam dengan semangat dan jiwa yang bahagia dalam suasana damai. Meskipun, terpisah oleh jarak dan waktu, ketika pasangan menjadi TKI, saling percaya menjadi kunci kesuksesan. Suami mencari dan mengirim remitace, istri dengan leluasa dan potensi yang ada mengelola nya menjadi sebuah bisnis kecil yang hari demi hari tersu berkembang. Berbunga menjadi usaha, berbuah menjadi rumah impian dan sekarang menjadi orang terpandang di Desa.
Berdasarkan proses penjurian yang di lakukan secara objektip dan akuntable , team juri Memutuskan Marsudin dan Muhammad Amin ( 42 tahun) layak untuk menjadi model dan promotor gender mainstreaming. Dua orang ini adalah mantan BMI yang paling sedikit telah bolak-balik sampai 3 kali mengais rezeki ke luar negeri. Pada awalnya, di rencanakan untuk di pilih satu saja. Namun apa lacur, point yang mereka dapatkan berdasarkan instrument yang dibuat sama, mereka punya keunggulan masing-masing yang spesifik. Dan mereka jua punya kesamaan, sama-sama sukse mengelola remittance menjadi sebuah usaha dan sama-sama telah mempraktekkan keseteraan gendr dalam kehidupan nyata seharin-hari. Akhirnya, team juri tidak bisa meninggalkan salah satunya, karena terlalu saying untuk di tinggalkan potensi yang mereka miliki. Maka lahirlah matahari kembar desa pengadangan. Diputuskan ; mereka berdua layak menjadi model laki-laki idaman itu. Marsudin setelh 3 kali bolak-balik ke Malysia, kini ia menjadi Sarjana dan mengabdi sebagai guru honorer di kampungya. Sementara Muhammad Amin yang telah belasan kali berorbit di lintasan Indoesia –Malaysia punya kelebihan lainnya : Ia mau menerima Istrinya (cacat karena Penyakit polio) apa adanya dengan segala konsekuensi , ia tak malu menjadi pemuka dan patriot pekerjaan-pekerjaan domestic di rumahnya.
Dari 3 aspek utama yang di nilai yaitu : 1).pengelolaan remittance untuk pengembangan usaha dan kapasitas diri, 2). Praktek kesetaraan gender yang baik dalam kehidupan rumah tangga, 3). Performance, komunikasi dan hubungan dengan masyarakat (hal ini patut di pertimbangkan, karena mereka nantinya harus mampu mempengaruhi, memprovokasi dan meyakinkan orang di sekitarnya untuk mau mengikuti jejak mereka).Kedepannya mereka, diharapkan untuk melanjutkan, meningkatkan dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan pribadi dan lingkungan sekitar di manapun berada.
Inovasi
Hal-hal inovatip lain yang di coba pada program ini adalah memanfaatkan Media drama tradisional Rudat sebagai media pendidikan dan sekaligus pengorganisiran. Rudat adalah sebuah kesenian tradisional suku Sasak, mirip ketoprak jawa. Memadukan drama, lagu dan tari dengan di iringi msuik tradisional.
Inovasi media ini penting di lakukan mengingat perlunya metode sosialisasi dan pendidikan alternatif untuk komunitas. Metode-metode “sekolahan” yang dipakai oleh baik LSM, Pemerintah mensosialisasikan gagasan baru ataupun pendidikan komunitas khususnya di pedesaan, menghadapi berbagai kendala. Metode sekolahan yang di maksud adalah pemakaian poster, bahan-bahan tertulis yang dipenuhi istilah asing yang susah dimengerti masyarakat desa dalam bentuk buku, brosur, leaflet dan seminar-seminar. Dan ini dilakukan di masyarakat desa yang tingkat pendidikan rendah, kemampuan baca tulis rendah (bahkan ada yang illiteracy). Pemakaian metode-metode ini juga tidak mempertimbangkan akar budaya setempat, tingginya illiteracy dan rendahnya minta baca. Khusus di lombok dengan karakter oral story sebagai bagian dari budaya dan penyebaran informasi.
Karena sifatnya yang rekreatip dan edukatip. Media rudat dapat juga befungsi sebagai media rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban BMI maupun mereka yang barus saja kembali dari kerja di luar negeri. Dengan bertemu, berkumpul bersama sesama ‘nasib” sebagai keluarga BMI dan dikukung oleh tujuan kegiatan pementasan yakni memberikan kesadaran massa, kegiatan yang membuat mereka merasa bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi komunitasnya, kepulihan mental serta rasa percaya diri korban cepat di bangun. Selama ini, kegiatan Pementasan Rudat ini merupakan kegiatan ADBMI yang paling populer dan diingat oleh komunitas. Di mana pelibatan masyarakat sangat banyak (600-800 orang yang menonton per sekali pementasan) , jauh lebih besar dibanding kegiatan-kegiatan ADBMI yang lain dan skup penonton dari lintas kecamatan bahkan kabupaten. Penonton tidak lekas jenuh, karena diselingi oleh humor, tarian dan lagu. Dan sejauh ini, dalam dua kali pementasan, , sekitar 1.300 orang masyarakat yang menonton rudat ini.
Dan oleh karena Rudat sebagai media ini sendiri mengidap penyakit bawaan berupa tidak setara gender. Maka Rudat di modifikasi sehingga keluar dari pakem tradisionalnya ke pakem baru, yaitu :
- Komposisi pemain sebelumnya lebih banyak perempuan maka dalam rudat ini akan di balik, jumlah pria di perbanyak. Yang pada giliranya, pria pemain rudat ini akan menjadi agnet laki-laki baru dalam kehidupan nyata
- Peran perempuan yang dalam rudat terdomestikasi menjadi permaisuri, istri (Pakem lama, komposisi perempuan dominan tapi miskin peran) . Maka dalam pakem baru ini di balik, lebih banyak pemeran pria , tapi peran perempuan akan di angkat.
- Skenario rudat tradisional berlatar belakang kerajaan Timur Tengah di ubah juga menjadi konteks kehidupan lokal.
- Ada interaksi antara pemain dengan penonton. Dimana penonton dapat terlibat.
- Dalam design skenario tentang gender, tetap menggunakan pendekatan insentive approach. Yaitu menggambarkan situasi keluarga yang menerapkan kesetaraan gender dan keluarga yang sebaliknya.


Prinsip-prinsip umum yang di pegang dalam pelaksanaan program ini adalah Dalam menyebarkan gagasan gender justice nanti, akan di hindari terminologi asing yang berpotensi menumbuhkakan perspesi isu yang di bawa produk luar, untuk itu akan di kedepankan insentive approach
Tujuan umum dari program ini adalah dalam jangka panjang menghapuskan segala bentuk diskriminasi berbasis gender pada issue Perlindungan Buruh Migrant dan memastikan adanya gender equality dalam keluarga BMI di Lombok Timur. Dan dalam Jangka pendeknya adalah melahirkan agen laki-laki baru yang akan menjadi promotor, inisiator dan model bagi orang kampung dalam penerapan gender equality khususnya dalam issue penempatan BMI. Di sisi lain, komunitas pedesaan yang terisolir di Kabupaten Lombok Timur masih kuat pengaruh budaya patriarkhi dan memiliki pemahaman agama yang bias atas ajaran islam sebagai agama yang dianut oleh hampir 99% penduduk Lombok Timur, memandang diskriminasi gender sebagai hal yang lumrah, bukan masalah, meskipun oleh perempuan itu sendiri, karena menurut persepsi dan nilai lokal, demikianlah Tuhan menciptakan alam ini untuk kebaikan manusia dan alam sendiri.
Bagian dari tindak lanjut secara periodik akan di minta untuk memberikan kontrol dan penilaian atas prilaku para agent laki-laki baru ini, dan untuk mereka yang dipilih oleh masyarakat sebagai yang terbaik dalam memperjuangankan gender justice akan diberikan Penghargaan dalam sebuah event regional yang dipubilkasikan secara luas. Pemberian anugerah akan dilakukan oleh Bupati dan tokoh perempuan Lotim.
Praktek diskriminasi berbasis gender dalam Penempatan dan perlindungan Buruh Migran ini, di samping bersasal dari faktor budaya dan pemahaman yang bias atas ajaran agama islam, juga di perkukuh oleh Peraturan perundangan yang juga diskrimintaip, mulai dari UU 39 tahun 2004 dan peraturan Daerah No 12 Tahun 2006 . dan Di level Regional PERDA no 12 Tahun 2006 .
Setiap proses dalam bersama masyarakat, di lakukan secara partisipatip dan sangat setara. Komunitas di berikan, bahkan di dorong untuk merasa memiliki program. Sehingga, dalam setiap interaksi. Masukan-masukan dari masyarakat langsung dapat di terima.
Disamping itu, dalam setiap proses interaksi, dilakukan semacam evaluasi. Di mana, komunitas yang hadir di minta memberikan tanggapan dan masukan tentang proses yang berlangsung serta seperti bagaimana sebuah kegiatan sebaiknya di lakukan. Misalnya lewat : pre dan post test pada waktu sangkep kampong, wawancara dengan penonton rudat untuk mengukur keberterimaan informasi yang di sampaikan lewat pertunjukan tersebut.
Memakai orang local pengadangan bernama Sahrudin dan Indrawati sebagai pendamping langsung masyarakat (Community Organizer), sehingga masyarkat dapat langsung memberikan masukan terkait perbaikan program kepada dua orang organizer ini.
Proses sangkep kampong di perbanyak dan diharapkan tidak hanya di lakukan sampai di level dusun, tapi pendekatanya , sebisa mungkin sampai level RT.
Pada akhir program. Di lakukan workshop Evaluasi yang di khususkan untuk menggali masukan dari masyarakat terkait pelaksanaan program secara partisipatip
ADBMI sebaiknya lebih menekankan kepada pemdampingan pengelolaan remittance , khususnya kepada perempuan yang berdampak pada peningkatan perekonomian keluarga secara langsung, kemampuan mereka atas pengelolaan aset. Karena bagaimanapun, masalah ekonomi keluarga sering menjadi pemicu perceraian dan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Dari hasil pelaksanaan program ini menunjukkan, bahwa ada korelasi positip antara kemampuan perempuan untuk mengambil peranana dalam peningkatan perekonomian keluarag dengan model relasi yang terbangun dengan suami dan anak.
Dan untuk memastikan semua mekanisme yang sudah direncanakan berjalan. Penanggung jawab program melakukan asisteni berkala kepada masyarakat dan pendamping lapangan. Asistensi ini juga di lakukan di samping untuk memastikan progress program, mendapatkan masukan dari masyarakat serta untuk membantu Pendamping lapangan menyelesaikan masalah yang muncul.
8.2 Berikanlah umpan-balik atas bantuan yang telah diberikan oleh Oxfam Australia. Berikanlah komentar tentang hubungan dengan Oxfam Australia, dan kemukakanlah saran-saran untuk perbaikan. Maksud dari hal ini adalah untuk membantu Oxfam Australia dalam memperbaiki dukungannya kepada para mitra.
Asistensi dalam bentuk dukungan teknis , terkait peningkatan kapasitas Lembaga Pelaksana program (mitra) perlu di tingkatkan. Untuk sebuah kerja dengan tujuan yang besar. Sebaiknya, periode kerjasama/dukungan yang di berikan, tidak berjangka pendek, Minimal 3 tahun.
Mestinya ada pendokumentasian pembelajaran yang di dapat dari pelaksanaan program ini sehingga dapat di baca dan pelajari oleh pihak lain.
Hambatan Dan Tantangan :
Cukup menarik. Cerita Pak Amin Sang Model terpilih, untuk meyakinkan dirinya, dia pernah melakukan konsultasi ke salah seorang tokoh agama di desa Pengadangan, apakah dengn bersetara gender , berbagi peran serta wewenang , tanggungjawab dengan isteri saling melengkapi adalah sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama. Dan jawaban dari tokoh agama tersebut membuatnya semakin yakin dan mantap, bahwa kita di suruh berbuat baik pada semua orang , apalagi kepada isteri dan anak sendiri, bias gender itu terjadi karena tafsir dari agama yang salah.
Tantangan dan dukungan selalau ada. Sehari setelah kemenangan pak Marsudin di beritakan oleh Koran, beberapa orang mengucapan selamat dan beberapa orang juga mengajaknay berdebat karena tidak setuju.
RH