Iskandar Tidak Agung. Hanya TKI
(Roma Hidayat, ketua ADBMI, tinggal di desa Lepak)
Setengah tiga dini pagi. Kampung kecil itu sedang dalam puncak lelap tidurnya. Seluruh penjuru Desa memainkan simponi dengkur penduduknya. Dan sepertinya itu malam kelihatannya akan berlaku seperti biasanya malam di desa, yang hanya diramaikan jangkrik dan sesekali burung malam yang berteriak mengekspresikan kegirangannya karena menemukan ular atau tikas mangsa bekal malam itu. Tapi tidak ini malam. Dari jauh , terdengar suara sepeda motor tua yang kedengarannya sangat penat karena disamping telah tua, kuda besi beroda itu sepertinya terlalu dipaksakan untuk berlari jauh di luar batas kemampuannya. Sepeda motor itu melintasi dengan ragu gerbang batas desa, tersendat dan semakin dekat , semakin terdengar ragu derunya mencari jalan yang hendak di tuju ketika telah sampai di simpang empat. Setelah mengambil haluan kanan, motor yang ditunggangi dua orang laki-laki itu berhenti di depan sebuah rumah itu. Terdengar orang yang dibonceng di belakang berbicara sebentar, suaranya lirih hampir tak terdengar, tunggu sebentar ya.
Tak lama. Setelah beberapa kali ketokan di pintu untuk membangunkan penghuni rumah itu. Malas dan tentu saja berat untuk memaksa badan berpisah dengan tempat tidur di waktu seperti ini. Saya kandar, ganduk, iskandar, cucumu sudah pulang, setengah berteriak orang yang baru saja turun dari motor dan mengetuk pintu itu. Si Empu rumah terkesima setengah tak percaya dan setengah melompat berlari ke pintu . Dan, tangisnya pun pecah membangunkan seisi rumah, tetangga dan lalu akhirnya hampir separuh kampong terjaga dan berduyun duyun medatangi pusat paduan tangis itu. Begitulah, Iskandar di sambut pulang dari rantau dengan tangis oleh hampir seluruh penduduk kampong malam itu. Dan sebelum subuh tiba, pengendara motor , ojek yang biasa mangkal di pelabuhan Lembar (satu-satunya pelabuhan penghubung dengan pualu Bali di ujung barat pulau Lombok ) itu minta ongkos yang belum di bayar. Naik Gratis, Turun Bayar. Pola ini disepakati Iskandar, dia akan bayar nanti setelah sampai di tujuan. Sebesar Rp. 35 Ribu, dan uang di kantong hanya Rp 25 ribu. Dan dengan ikhlas, nenek tempat Iskandar selama ini di besarkan memecah celengan tempat menabung hasil buruh tani yang dia peroleh untuk menutupi kekurangan uang ongkos yang di sepakati . Tarip dari Pelabuhan Lembar Di Lombok Barat ke Desa Lepak, Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur. Berbeda jauh dengan kenampakannya saat pergi dulu, Iskandar hadir pulang seperti mayat hidup, hanya tulang di bungkus kulit pucat pasi, rambut awut-awutan, perut membuncit entah terisi apa. Biri-biri dan malaria menghajar tubuhya tanpa ampun, buah dari kerja Balak. Tempat perbudakan di jaman modern, di Negara merdeka nan kaya, Indonesia.
Lahir dan besar dari keluarga broken home pada sekitar Mei 1977. Iskandar yang meski masih muda, telah memiliki 3 orang anak dari seorang Istri bernama Nur. Yang paling Sulung di panggil pandi (12 tahun) sudah duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Dia sudah dua kali pergi merantau , mencari peruntungan ke negeri Jiran, Malaysia. Dua-duanya di lakukan lewat jalur gelap alias masuk ke Malaysia tanpa di lengkapi dokumen yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Dalam perjalanan pulang. Pernah berjalan kaki menyusuri hutan dan jalan raya di lintas Jambi sampai 2 hari dua malam, tanpa makan dan minum dalam keadaan sakit malaria yang mendera. Sesekali berhenti sejenak di mushola dan masjid yang di temui di jalan untuk sekedar menguatkan badan dengan minum air di kolam atau pancuran tempat wudhu di masjid yang di temui Sambil membasahi muka untuk menyegarkan badan. Tertidur di bawah pohon pinggir jalan. Saya tidak berfikir apapun, jika harus mati, matilah, saya hanya tak ingin mati sebelum mencoba untuk pulang ke rumah, tuturnya. Dalam perjalan itu saya memang tergoda dan sering melihat buah kelapa dan pisang yang tumbuh di kebun yang saya temu di sepanjang jalan lintas sumatera itu. Tapi masalah saya sudah banyak, saya tidak mau mendapat masalah baru, jika ketika saya memakan pisang itu tiba-tiba ada yang menuduh saya mencuri.
Sehari-hari kini , dia dengan penuh disiplin dan kesetiaan nongkrong dengan sebuah motor kredit di posko ojek depan pasar desa. Ya, dia kini berprofesi sebagai ojek . sebuah Profesi yang hampir pasti akan di geluti oleh semua pria Sasak yang pulang sehabis menjadi TKI. Maka tak heran, dari puluhan ojek yang menjadi competitor Iskandar , mereka berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Mereka semua mantan TKI. Desa Lepak, memang kantong TKI sejak dulu. Kepala Desa sampai perangkat bahkan sampai kepala Dusun, Ketua RT juga mantan TKI. Sangat sulit menemukan penduduk Desa yag belum pernah jadi TKI, khususnya ke Malaysia. Dari kakek-kakek, sampai anak-anak yang baru tumbuh Dewasa, hampir semuanya pernah mencicipi lezatnya menjadi TKI. Bagaimana sensasi dikejar police diraja.
Seperti anak kampong yang lainnya. Iskandar memag terdesak oleh keadaan. Ia tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup, padahal dia tidak menuntut terlalu banyak pada kehidupan itu sendiri. Cukup bagi saya, ada beras yang di makan untuk hari ini dan hari esok. Beras untuk lusa, kita pikirkan dan cari hari yang lainnya, tuturnya bersahaja. Sangat sederhana. Ia hanya lulus Madrasah Tsanawiyah (Setingkat SMP). Sempat mengecap sekolah di Aliyah (setingkat SMA) di kota kabupaten (30 kali dari Desa tempat tinggal) dua bulan saja, dan akhirnya di paksa keadaan, ibunya yang janda tak mampu membiayai sekolahnya. Iskandar yang masih tergolong anak kala itu ( sekitar 15-16 tahun) memutuskan untuk merantau mengais rezeki ke Malaysia bersama 4 pemuda desa lainnya menggunakan jalur tradisional, sekitar tahun 1997. Dan waktu itu, ongkos yang di keluarkan cukup Rp. 250 ribu saja.Sesampai di Malaysia dengan gaya selundupan yang tentunya melewati tempat-tempat sepi, merayap di rawa-rawa dan hutan bakau untuk menghindari petugas. Bekerja sebagai pembakar Batu bata. Satu tahun di sana, Iskandar tak betah, lalu pulang dan kawin.
Tak lama, anak pertamanya (pandi) lahir menjadi bunga mata dan pujaan hati. Kebahagiaan itu haris di tunda. Pandi beranjak makin besar, 6 bulan usianya, dia sudah mulai belajar merangkak. Iskandar, sang ayah baru tak sanggup memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin bertambah. Akhirnya berbekal cita-cita ingin menjadikan anaknya punya nasib yang lebih baik, berbeda dengan dirinya. Persis ketika Pandi telah mulai belajar duduk. Sekitar tahun 2001, Iskandar merantau lagi ke Malaysia bersama pemuda Desa yang lainnya, dengan model migrasi yang masih sama. Cuma biaya telah terpengaruh inflasi, ditambah lagi biaya sogokan petugas juga makin tinggi kala itu. Kali kedua ini dia harus menyiapkan ongkos Rp. 1 juta.