Senin, 26 Januari 2015

on



KOMUNIKASI YANG “DIA LIHAT KITA, KITA LIHAT DIA” ; TELECONFERENCE UNTUK MEMINIMILASIR DISHARMONISASI KELUARGA BMI


Wahhh, keren sekali, sangat senang sekali, karena kita bisa lihat dia , dia bisa lihat kita,  suami saya kelihatan  sehat. Demikian response seorang ibu yang menikmati layanan   gratis informasi dan komunikasi berbasis internet yang ADBMI sediakan. Ibu itu baru saja ber-teleconference.  Hanya berbekal Modem dan laptop untuk Sebuah Aksi sederhana untuk mempertebal garis kohesi keluarga yang terancam oleh jarak. Bahkan dari pengakuan Masyarakat lainnya ,  dengan adanya model komunikasi ini merasa gairah seperti pacaran dulu,  seperti anak muda yang LDR lah (long distance  relationship)


Harmonisasi keluarga menjadi pertaruhan yang terlupakan. Harga yang  mesti di bayar, namun lupa di hitung dalam komponen biaya social menjadi seorang TKI/BMI. Soal disharmonisasi ini tak terbatas pada perang dingin (diam-diam menyemai su’udzon/buruk sangka) namun sampai pada puncak tertingginya, perceraian.  Pengadilan Agama mencatat, angka perceraian melesat tinggi di kalangan keluarga BMI, rata-rata 2 kasus perceraian per hari. Di samping Phenomena Cek dan Cok, salah satu penyulutnya adalah buruknya Kualitas dan minimnya intensitas Komunikasi yang di bangun. Ada yang semenjak pergi meninggalkan rumah sampai  ia pulang dua tahun kemudian, baru berkabar. Ada yang hanya ketika mengirim uang saja (interval 3-6 bulan atau kalau di ratakan  dalam satu tahun , hanya berkomunikasi dua kali saja dengan keluarga di rumah).

Mari kita bicara , begitu bunyi tagline sebuah iklan. Sebelum handphone seperti kecambah macam sekarang ini. Biaya, ketiadaan Fasilitas  plus nilai-nilai Sosial yang di anut  sangat mempengaruhi intensitas komunikasi.  Jarang Komunikasi pada keluarga BMI yang terpisah jarak dalam kurun waktu yang relatip lama adalah gerbang bebas hambatan untuk merajalelanya Setan, baik dalam bentuk jin mapun manusia. Mereka yang dalam dadanya menyimpan Syndrome Tungku api, doyan meniup-niupkan bara. Maka terjadi adalah dzon/prasangka di anggap sebagai sebagai fakta nyata, gosip di anggap sebagai konklusi dari sebuah penelitian ; Suamimu  itu di luar negeri sana suka begini dan begitu, sementara di Negeri rantauan, dalam kepala dan dada Suami di tiupkan dzon bahwa Isterimu begini dan begono, sudah ambil keputusan sekarang juga. Dalam kasus yang kerap kami temukan, mereka lebih dahulu mengambil keputusan untuk bercerai atau lainnya sebelum melakukan validasi dan konfirmasi atas dzon dan berita yang di terima. Lalu ketika kebenaran mereka ketahui di kemudian hari, hanya sesal yang mereka dapat. Sesal selalu datang kemudian, karena kalau di depan, itu namanya pendaftaran, begitu bunyi status fesbuk yang sempat sepintas saya baca.


Belang Toa’ (Belang = genit, Toa’ = Tua /Si Tua Genit) 
Soal komunikasi memang agak aneh dalam keluarga Sasak (etnis asli pulau Lombok). Keindahan, Keluwesan dan kelezatan komunikasi yang melibatkan dua orang itu serta merta hilang, ketika status telah berubah menjadi suami/isteri.  Jika dalam proses berpacaran, mereka mampu memproduksi kata-kata setaraf Pujangga, namun setelah menikah, kalimat yang lebih banyak di pakai adalah kalimat instruksi, kalimat atasan kepada bawahan. Dan jika ada mempertahankan keromantisan itu pada pasangan mereka, biasanya akan mendapat cemo’ohan sebagai Belang Toa’/Si Tau yang genit. Padahal  Logika sehatnya , jika perkawinan adalah level yang lebih tinggi di banding Jenjang pacaran, mestinya jika naik level , maka kualitas relasi  dan komunikasi juga harusnya meningkat. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, jika masa pacaran , semua yang terucap adalah kata dan ekspressi wajah yang manis, “pacar terantuk batu, hati-hati sayang, apa ada yang luka, sini abang obati. Tapi setelah menikah kenapa semua berubah, isteri terantuk batu akan mendapatkan respon suaminya ; embe laikm bekek batun matem, adekm pelot te (bola matamu kamu kemanakan, rasakan , modar kamu). Jika di telisik, perubahan ini di picu oleh nilai tradisional  patriarchal yang menempatkan , perempuan/isteri adalah milik suami, oleh karenanya, isteri di bawah kuasa/bawahan dari suami.

Salam, Maaf Dan Terima Kasih
Membudayakan tiga kata ini meski tidak mustahil namun cukup sulit (sesulit mencari tolang komak gero  /biji koro kering di bulan januari-februari), karena ia akan face to face dengan sistem social kemasyarakatan kita yang patronklien. Pola relasi tidak sederajat. Di mana  untuk menjadi patron, anda tidak perlu melakukan ataupun memiliki hal yang wah mewah dan megah.  Cukup anda ceprrrrooot, lebih dahulu mbrojol keluar dari rahim menuju dunia, maka langsung anda mendapat prestise patron  itu dari mereka yang nantinya lahir lebih belakang (entah sebagai adik kandung atau sikap hormat muda pada yang lebih tua). Memang sangat Non Ideologis tapi dampak dan pemanfaatannya yang sering kali politis, membuat pola relasi ini memicu soal-soal sosiologis lainnya.

Tiga kata dia atas adalah kewajiban moral dan sosiologis untuk golongan klien. Leveling moral golongan klien secara jamak dalam masyarakat Sasak  di ukur dari seberapa kerap menggunakan frasa ini, maka dari situlah anda di nilai  ;  oh dia anak yang tindih/sopan santun dan baik budi bahasanya, oohhh si anu memang anak yang kurang bersyukur.

Namun sebaliknya, tiga kata di atas di anggap  aib dan pamali yang dapat menurunkan  kewibawaan bagi patron. Maaf adalah pengakuan kekhilafan bahwa si patron yang salah, si patron telah melakukan aktifitas yang melanggar sebuah konsesus. Begitu juga terima kasih, dari sisi patron , di persepsikan sebagai bentuk pengakuan kelebihan si klien dan lawannya adalah pengakuan kekurangan.

Di dalam keluarga, pola relasi ini juga masih berlaku secara luas. Namun celakanya, , tiga kata ini seakan hilang dari peredaran, karena apapun yang di lakukan oleh isteri kepada suami dan sebaliknya , atau oleh orang tua kepada anak dan sebaliknya , semua aktifitas dalam lingkar keluarga  adalah dalam kerangka penunaian hak dan kewajiban yang memang begitu seharusnya , sehingga tidak punya nilai. Ini yang aneh, Jika anda minta di buatkan Kopi di warung Kopi, seketika  kopi datang, anda akan mengucapkan terima kasih , padahal nanti anda akan bayar kopi itu dengan harga berlebih untuk komponen layanan yang di berikan, tapi sangat sulit menemukan suami yang mengucapkan kata ini  kepada isteri atau anak yang kadang menahan kantuk atau merelakan menomor duakan kepentingannnya sendiri untuk memenuhi orderan kopi dari sang Suami atau bapak.

Hal sepele kata beberapa orang tentang ke alpaan tiga di atas poda dialog sehari-hari rumah tangga. Namun,  bukankan kata-kata memiliki kekuatan sihir sendiri.  Mungkin anda sebelumnya telah pasang niat untuk tidak membeli apapun di pasar, namun sesampai di pasar, bisa jadi anda melanggar niat itu karena terkecoh/terpengaruh oleh kekuatan kata-kata Penjual obat yang intonasi dan keluwesan kata-kata ceramahnya melebihi Caleg di Musim PEMILU seperti sekarang ini. Begitulah, kata-kata mempunyai sihirnya sendiri. Maka cobalah untuk membiasakan diri mengucapkan tiga frasa di atas, lalu nanti tunggulah keajaiban sihirnya bekerja. Prinsipnya sederhana, menghargai orang sama dengan menghargai diri, jika engkau mencaci bapak orang, maka sangat bisa jadi engkau juga akan mendapatkan orang itu balik mencaci bapakmu.

Popular Posts

ADBMI Lombok Timur. Diberdayakan oleh Blogger.