SEXI DIKASUS, MEMBLE DIANGGARAN
(catatan dari didskusi I CLUB Peduli BMI-Lombok Timur)
Untuk Mem-bumi-kan" isu Buruh Migran Indonesia, maka ADBMI mendorong terbentuknya sebuah media "Kongkow-Kongkow" produktif yang membahas isu dan solusi aflikatif yang dapat segera di praktekkan oleh pihak releven (multi stekholders). keberadaan CLUB ini strategis mengingat sindrom "amnesia" alias gampang lupa yang di idap oleh para pengambil kebijakan. isu BMI hangat ketika ada kasus namun dingin ketika musim perancanaan dan pengambilan tiba. sebagai penyumbang devisa (pahlawan devisa), Komunitas BMI justru menjadi terpinggirkan dalam mennakses dan menikmati anggaran pembangunan. tunjuk contoh Rp. 0 dari APBD Kabupaten Lombok Timur selama 5 tahun berturut-turut 2007 – 2012 (dan jika menilik semua dokumen pengganggaran yang ada , kesialan atas nama kealpaan para pengambil kebijakan itu, akan di genapkan menjadi 6 tahun 2013 ini).
Kenapa isu BMI sangat sexy di media massa, namun memble ketika Masa Penyusunan Anggaran di Daerah ??? (tanya ken...napa). Kemungkinannya memang banyak, di antaranya ; kurangnya tekanan para pihak yang konsern pada isu ini sehingga kalah dalam meyakinkan para pengambil kebijakan, isu BMI tidak masuk dalam “prioritas”. Untuk itu, CLUB stakeholders dapat menjadi salah satu bagian dari strategi mendorong isu ini tetap hangat dalam memori dan hangat dalam penganggaran. Dengan meilbatkan lintas aktor pembangunan, komunikasi dan informasi tentang TKI dan persoalannya dapat di update. Dalam konteks yang lebih spesifik, keberadaan CLUB dapat menjadi “Lembaga Konsultan” yang memberikan advicekonstruktif tentang hal-hal menarik serta startegis yang perlu di lakukan oleh siapa saja yang bergerak dalam penanganan isu BMI.
Latar pemikiran di atas mendorong ADBMI dalam pelaksanaan Pilot Iniative : Poverty Reduction through Safe Migration mendorong terbentuknya CLUB Stakeholders peduli BMI. CLUB ini adalah himpunan multi stakeholders dari representasi sektor-sektor pembangunan lain yang relevan (saling mempengaruhi/memberi ataupun menerima dampak baik langsung maupun tidak langsung). Sifat dari CLUB ini adalah cair, bukan organ yang permanen.Diharapkan CLUB ini memiliki anggota permanen minimal 15 orang dari representasi multi sektor pembangunan. Setiap kali diskusi/pertemuan CLUB BMI dapat mengundang pihak lain yang relevan dengan isu BMI (maksimal 25 orang).
Jalannya Diskusi Pertama CLUB ini telah berlangsung pada hari senin, 18 Maret 2013 kemarin di Pondok Santai. Pada sesi awal brainstorming, dari unsur pemerintah yang mendapat kesempatan berbicara, dan memberikan apresiasi atas kerja-kerja ADBMI, bahkan beberapa orang peserta dari Bappeda Lotim BPMPD menilai peran ADBMI mengalahkan instansi pemerintah yang seharusnya berfungsi untuk itu. Sayangnya baru menyentuh 10 desa, belum 10% dari jumlah desa di Lombok Timur, padahal semua desa mengalami permasalahan sama tentang Buruh Migran. Sementara pernyataan dari dinas bersangkutan atas isu dan perannya hanya menjawab normatif seperti kewenangan (Tupoksi) dan keterbatasan staf dan anggaran tidak mendukung.
Peserta dari Unsur pemerintah kemudian seperti berlomba-lomba ingin menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kepada Buruh Migran, seperti:
· BPMPD mengklaim peningkatan jumlah ADD sebagai wujud kepedulian karena diharapkan kepada pemdes mengalokasikan dana untuk pengembangan kewirausahaan dengan kelompok sasaran adalah mantan BM dan keluarganya
· Bank BRI: mengaku memiliki kepedulian dengan menyediakan skim kredit KUR TKI, yang penyalurannya melalui PJTKI
· BPPKB: memiliki program dan kegiatan penanganan kasus BM. Juga memiliki kelembagaan P2TP2A dan TPPO-D, sehingga mempertanyakan “urgensi “club stakeholder yang akan dibentuk ADBMI
· Bappeda: seharusnya ADBMI menyampaikan data dan informasi ini sebelum Musrenbang agar menjadi acuan program pemerintah, karena selama ini data dan informasi dari dinas terkait sangat lemah. Tidak nampak kebijakan, program, kegiatan yang seksi dan menarik dari Dinas, sehingga Bappeda sebagai “bapak” tidak begitu memberikan perhatian.
Komitmen dan Strategis/tidak strategisnya CLUB. Pemahaman peserta dari pemerintah tentang “CLUB” umumnya sangat formaslistik, dan mempertanyakan produk club jika dibentuk tanpa memenuhi persyaratan organisasi yang baik, apalagi jika dengan niatan sebagai tempat kongkow-kongkow. Club yang akan harusnya seperti kelembagaan baru yang memiliki kelengkapan struktur, kerangka operasional, visi, misi, program dan anggaran yang jelas, termasuk bernaung atau berinduk instansi mana. Bahkan ada peserta yang berpendapat Perlu melobi Bupati Lotim agar bersedia mengeluarkan SK pembentukan sekaligus mendapatkan dukungan anggaran APBD.
Keberadaan club dianggap strategis dan penting untuk dibentuk, tetapi frame yang sudah yang terlanjut pragmatis, ,maka beberapa peserta dari pemerintah menyarankan agar melebur saja kedalam kelembagaan yang sudah berjalan di BPPKB dengan alasan isu yang dibawa relatif sama. Apalagi P2TP2A eksis berskala nasional.
Semua peserta memiliki komitmen untuk terlibat dalam club yang akan dibentuk, tetapi sulit mengatasnamakan instansi karena beberapa alasan klasik, sepesrti: peserta yang hadir bbukan pengambil keputusan, jika terlibat atas nama jabatan dikhawatirkan akan pindah/mutasi sewaktu-waktu. Tetapi disarankan untuk dibentuk saja oleh ADBMI sebagai chef dan dapurnya, sedangkan pihak pemerintah (peserta yang hadir) tinggal diundang setiap ada agenda kegiatan. Terhadap hal tersebut, dianggap bukan merupakan bentuk komitmen pemerintah dan stakeholder lanyya oleh pserta dari LSD dan kelompok civil lainnya.
Meskipun sukses dalam hal memberikan pemahaman mengenai “apa yang sudah di lakukan program dan apa yang bisa stakeholders lain lakukan dalam kerangka mengusung ide serta tujuan yang sejalan dengan program” namun Pembentukan dan Penunjukan Inisiator/Dinamisator CLUB masih terkendala. Diskusi belum sampai pada kesepakatan tentang terbentuknya club mengingat keterbatasan waktu dan Proses pembentukan yang digiring partisipatif, informal sehingga berjalan panjang. Yang bisa disepakati hanyalah INISIATOR/DINAMISATOR, yaitu Ibu Sumantiar dari BPPKB. Dinas menghindar menjadi dinamisator club dengan sejumlah alasan, antara lain:
· Khawatir berkonsekuensi terhadap anggaran untuk membiayai kegiatan diskuisi
· Peserta termasuk dinas menyarankan agar inisatif ini diambil oleh Dinas STT karena kedekatan Tupoksi, namun perwakilan dari Dinas STT (Bp. Waluyo) belum bersedia karena : 1) harus berkonsultasi dahulu dengan pimpinan, 2). Tugas sejenis yaitu penanganan masalah BM terkati dengan sub bagian lain, 3). Khawatir terjadi mutasi, 4). Tidak tersedia menu program dan anggaran sejenis pada instansinya. Akibatnya, dinas STT dianggap bantong (Lombok: Banci) oleh dinas lain. Bahkan peserta dari BRI Unit Sakra menyarankan untuk tidak dipaksakan kepada, menganggap lucu kalau BRI yang menjadi koordinator/dinamisator club
· Akhirnya ibu Sumantiar (BPPKB) bersedia menjadi pengelola (dinamisator) club dengan alasan sangat erat hubungannya dengan TUPOSInya, dan sangat memungkinkan mensinergikan program dan kegiatan kedinasannya, apalagi telah terbangun lama komunikasi antara ADBMI dengan BPPKB.
Selanjutnya disepakati beberapa hal sebagai tindak lanjut, yaitu:
- Segera menentukan momentum diskusi, misalnya Bedah kasus, atau melalui penyusunan ROAD MAP advokasi buruh migran
- Merumuskan kerangka kerja club, termasuk nama clubMemetakan ulang stakeholder yang relevan,
- memiliki pengaruh dan kepentingan kuat untuk memperluas influence.